Konflik Israel-Iran: 4 Dampak Mengkhawatirkan yang Bikin Indonesia dan Dunia Cemas
Ketegangan Geopolitik Iran-Israel Kian Membara, Pasar Global Berisiko Terguncang
Situasi geopolitik antara Iran dan Israel semakin memburuk. Kedua negara saling melancarkan serangan yang melibatkan rudal dan drone, memperkeruh stabilitas kawasan Timur Tengah. Eskalasi ini tidak hanya berdampak secara militer, namun juga meningkatkan ketidakpastian di pasar global dan berpotensi memicu lonjakan inflasi.
Pada Jumat dini hari (14 Juni 2025), Israel meluncurkan serangan besar ke beberapa fasilitas nuklir milik Iran, termasuk yang berada di Teheran. Serangan ini menewaskan sejumlah tokoh penting, termasuk petinggi militer dan ilmuwan nuklir Iran, serta Ali Shamkhani, yang dikenal sebagai penghubung komunikasi antara Iran dan Amerika Serikat.
Sebagai respons, Iran membalas dengan meluncurkan rudal ke wilayah Israel, termasuk ke Tel Aviv. Serangan balasan ini mempertegas bahwa konflik sudah memasuki fase saling serang terbuka antara kedua negara.
Tidak berhenti sampai di situ, Israel juga menyerang wilayah Yaman pada Sabtu malam (14 Juni 2025). Serangan ini dilakukan saat konflik dengan Iran masih berlangsung dan menyasar milisi Houthi yang berkuasa di Yaman. Menurut laporan dari Times of Israel, Juru Bicara Militer Israel, Brigjen Effie Defrin, menyatakan bahwa serangan ini bertujuan untuk menargetkan Kepala Staf Militer Houthi, Muhammad Al Ghamar.
Situasi yang kian memanas di kawasan Timur Tengah ini dikhawatirkan akan berdampak besar terhadap kestabilan ekonomi global. Jika konflik terus bereskalasi, sejumlah skenario buruk bisa terjadi.
1. Lonjakan Harga Minyak
Kawasan Timur Tengah merupakan pemasok utama minyak dunia, menyumbang sekitar sepertiga dari total pasokan global. Ketegangan yang meningkat di kawasan ini berisiko besar mengganggu distribusi minyak dan memicu lonjakan harga.
Hal ini terbukti pada perdagangan Jumat (13 Juni 2025), di mana harga minyak langsung meroket hanya beberapa jam setelah terjadinya aksi saling serang antara Israel dan Iran. Investor global mulai khawatir bahwa konflik ini dapat menghambat ekspor minyak dari kawasan tersebut.
Menurut data dari Refinitiv, harga minyak Brent ditutup pada angka US$74,23 per barel, mengalami kenaikan sebesar US$4,87 atau 7,02%. Bahkan, sempat menyentuh angka US$78,50—yang merupakan level tertinggi sejak 27 Januari 2025. Ini juga menjadi harga penutupan tertinggi sejak 2 April 2025. Selama sepekan, harga minyak Brent tercatat naik 13%.
Sementara itu, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) ditutup di US$72,98 per barel, naik US$4,94 atau 7,62%. Harga tertingginya sempat mencapai US$77,62, rekor sejak 21 Januari 2025. Dalam sepekan, harga minyak WTI juga mengalami kenaikan sebesar 13%.
Harga minyak brent dan WTI masih melonjak 1% pada pagi hari ini, Senin (16/6/2025).Lonjakan Harga Minyak Cetak Rekor Sejak 2022, Ketegangan Iran-Israel Picu Kekhawatiran Global
Kenaikan drastis harga minyak acuan Brent dan WTI mencatat rekor intraday terbesar sejak invasi Rusia ke Ukraina tahun 2022, yang saat itu juga mengguncang pasar energi dunia.
Peningkatan harga ini terjadi menyusul klaim Israel bahwa mereka telah menyerang berbagai fasilitas strategis Iran, termasuk lokasi pengembangan nuklir, pabrik rudal balistik, serta menargetkan tokoh militer penting. Sebagai respons, Iran membalas dengan menembakkan rudal ke wilayah Tel Aviv, yang memicu ledakan di bagian selatan Israel.
Meski demikian, otoritas Iran memastikan bahwa kilang dan fasilitas penyimpanan minyak mereka tetap aman dan tidak mengalami kerusakan. Produksi minyak Iran saat ini mencapai sekitar 3,3 juta barel per hari (bpd), dengan lebih dari 2 juta barel di antaranya diekspor ke berbagai negara.
Kekhawatiran utama pasar energi bukan hanya soal gangguan dari produksi Iran, melainkan potensi terhambatnya pengiriman minyak melalui Selat Hormuz. Jalur ini merupakan salah satu titik krusial dunia, di mana sekitar 18 hingga 19 juta barel minyak per hari melintas di sana.
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran global terhadap pasokan minyak. OPEC dan negara-negara mitranya hanya memiliki kapasitas cadangan terbatas untuk mengkompensasi potensi gangguan pasokan, yang kira-kira setara dengan produksi harian Iran. Di antara anggota OPEC+, hanya Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) yang memiliki kemampuan untuk segera meningkatkan produksinya—diperkirakan keduanya bisa menambah hingga 3,5 juta barel per hari.
Dampak Bagi Indonesia: Untung dan Rugi
Bagi Indonesia, lonjakan harga minyak membawa dua dampak yang berlawanan. Di sisi positif, kenaikan ini dapat menjadi kabar baik bagi emiten migas seperti PT Surya Esa Perkasa Tbk (ESSA), PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), dan PT Elnusa Tbk (ELSA) karena berpotensi meningkatkan pendapatan dan nilai saham mereka.
Namun, dari sudut pandang fiskal, situasinya tidak sesederhana itu. Kenaikan harga minyak memang berpotensi meningkatkan penerimaan negara dari sektor migas. Akan tetapi, hal ini juga bisa membebani anggaran negara karena biaya subsidi bahan bakar minyak (BBM) ikut meningkat, sehingga memperbesar pengeluaran pemerintah.
2. Ancaman Inflasi Global
Kenaikan harga minyak dunia juga membuka kembali ancaman inflasi global. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, China, dan India yang bergantung pada impor minyak kemungkinan akan menghadapi tekanan inflasi yang lebih tinggi.
Pasalnya, kenaikan harga minyak turut mendorong peningkatan biaya produksi di berbagai sektor industri serta konsumsi energi rumah tangga, yang pada akhirnya akan memicu lonjakan harga barang dan jasa. Hal ini menciptakan tekanan inflasi yang cukup besar.
Sebagai catatan, lonjakan harga minyak yang sempat mencapai US$139 per barel pada masa invasi Rusia ke Ukraina pada 2022 menjadi salah satu pemicu utama lonjakan inflasi saat itu.
Jika inflasi global kembali naik, maka kemungkinan besar bank sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve) akan menunda rencana pemangkasan suku bunga acuannya, guna menjaga stabilitas ekonomi dan mencegah inflasi yang lebih tinggi.
3. Dollar Bisa Kembali Perkasa
Permintaan terhadap safe-haven telah mendorong penguatan dolar. Indeks dolar kembali menguat ke 98,32 pada hari ini, Senin (16/6/2025). Posisi ini melesat dibandingkan pada Kamis pekan lalu di level 97.
Kenaikan dolar ini membuat mata uang banyak negara terpuruk, bisa membuat mata uang Emerging Markets termasuk rupiah terpuruk.
Nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Merujuk Refinitiv, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS padaSenin (16/6/2025) dibuka pada posisi Rp16.310/US$ atau melemah 0,12%.
4. Gejolak Perang Guncang Pasar Keuangan Global
Pecahnya konflik militer antara Israel dan Iran pada Jumat (13 Juni 2025) langsung mengguncang pasar keuangan global. Ketidakpastian geopolitik yang tinggi mendorong para investor untuk menarik dana mereka dari aset-aset berisiko, sehingga memicu kepanikan pasar.
Dampaknya terlihat jelas pada nilai tukar mata uang, pasar obligasi, dan saham, terutama di negara-negara yang berada dekat dengan zona konflik seperti Israel, Mesir, Yordania, Irak, Arab Saudi, Qatar, dan Bahrain. Ketegangan yang meningkat turut menyeret performa pasar di wilayah tersebut.
Bursa saham dunia pun ikut terpukul secara serentak. Penurunan tajam terjadi di banyak indeks utama pada perdagangan Jumat, seiring dengan meningkatnya kekhawatiran akan ketidakstabilan politik dan lonjakan harga energi akibat serangan Israel terhadap Iran.
Di Amerika Serikat, indeks Dow Jones Industrial Average anjlok 769,83 poin atau sekitar 1,79%, berakhir di level 42.197,79. S&P 500 juga melemah 1,13% dan ditutup di 5.976,97, sementara Nasdaq Composite turun 1,30% ke angka 19.406,83.
Pasar saham kawasan Asia-Pasifik juga mengalami tekanan. Ketegangan yang dipicu oleh serangan Israel terhadap fasilitas nuklir Iran dan ancaman pembalasan dari Teheran menciptakan tekanan jual di pasar Asia.
Indeks Nikkei 225 Jepang ditutup turun 0,89% menjadi 37.834,25, sedangkan Topix mengalami penurunan 0,95% dan berakhir di 2.756,47. Di Korea Selatan, Kospi melemah 0,87% ke level 2.894,62, dan Kosdaq yang mewakili saham-saham kapitalisasi kecil anjlok lebih dalam, yakni 2,61% menjadi 768,86. Sementara itu, indeks S&P/ASX 200 Australia menyusut 0,21% ke level 8.547,40.
Bursa saham Eropa juga tak luput dari dampak negatif. Indeks CAC 40 Prancis jatuh 1,07%, dan indeks FTSE 100 Inggris yang sempat naik di awal sesi perdagangan akhirnya ditutup turun 0,39%. Indeks Stoxx Europe 600 melemah 0,89%, dan indeks DAX Jerman merosot 1,07%.
Komentar
Posting Komentar